Penulis : Ardi,M.Pd |
SMAN1Lambitu.Sch.Id - Sosok guru ketika jaman saya sekolah dulu keberadaannya begitu sentral sebagai figur yang di gugu dan ditiru sekaligus sebagai teladan nomor wahid bagi murid dan juga orangtua siswa.
Keteladanan guru zaman dulu tidak hanya berhenti di lingkungan sekolah namun berlanjut di kalangan masyarakat sosial yang menempatkannya sebagai tokoh penting dalam banyak hal pada hidup dan kehidupan sehari-hari.
Sementara di sekolah sendiri, tidak ada satupun murid yang berani melawan guru, saat murid nakal guru lempar pake Kapur dan pengapus (maklum dulu masih menggunakan media pembelajaran berbasis tradisional) sekalipun siswa menerima dan tidak protes segala bentuk hukuman yang diberikan guru kepadanya bahkan orang tuanya sekalipun jika tau kalau anaknya mendapatkan hukuman dari gurumya malah siswa yang bersangkutan dapat hukuman tambahan dari orang tuanya tersebut artinya orang tua ikut mendukung apa yang dilakukan oleh guru tersebut demi kecerdasan anaknya, memang dulu gurunya keras tapi sepengetahuan saya sebagai murid tidak ada guru yang memberikan hukuman kepada siswa itu sampai sakit parah.
Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan ihklas menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya sangat dihormati dan disegani oleh siswa sekaligus orang tuanya karena sebagai panutan bagi mayarakat.
Sedangkan di era digital ini seolah posisi guru tercerabut dari akar profesinya dan diganti oleh peran orangtua dan masyarakat yang merangsek masuk hingga ke urusan belajar-mengajar di sekolah. Akibatnya, dimata siswa guru bukan lagi sosok sentral yang harus di hormati layaknya sebagai orang yang paling berjasa mencerdaskan mereka bahkan guru tidak heran dilawan dan “aniaya” fisik dan profesinya. Disinilah guru kita menjalankan profesi mulianya tidak ayal seperti “babu nya siswa” dan orangtua siswa berlagak seperti bosnya guru.
Kondisi semacam ini tentu terjadi sebagai akibat dari perubahan dan pergeseran nilai yang dibawa oleh semangat globalisasi yang melanda negara Indonesia ini. Pergeseran yang terjadi menimpa hampir seluruh sendi kehidupan.
Globalisasi sebagai saudara kandung modernisasi telah menghasilkan perubahan cara pandang bangsa ini termasuk dalam dunia pendidikan yang diwarnai oleh perubahan peraturan-perundangan mengenai pelarangan dan pembatasan peran dan otoritas guru menjalankan profesinya secara nyaman dan bebas dari belenggu pihak luar dengan alasan HAM dan pola pendidikan demokratis.
Akibat dari adanya HAM dan sistem pendidikan demokratis ini, guru seolah dikurung dalam keterbatasan mendidik warga belajarnya sebagaimana strategi mendidik guru pada masa silam, guru tidak lagi berani memberi hukuman kepada siswanya, guru diwajibkan menghormati siswanya, guru terus dituntut untuk melayani siswa dan orangtuanya layaknya babu. Dampak dari itu semua, tentu akan berpengaruh pada perubahan perilaku dan karakter pelajar dewasa ini seperti murid sekarang yang lebay-alay, atau orang tua siswa yang melambai, guru tegas sedikit dibilang melakukan kekerasan”.
Keteladanan guru zaman dulu tidak hanya berhenti di lingkungan sekolah namun berlanjut di kalangan masyarakat sosial yang menempatkannya sebagai tokoh penting dalam banyak hal pada hidup dan kehidupan sehari-hari.
Sementara di sekolah sendiri, tidak ada satupun murid yang berani melawan guru, saat murid nakal guru lempar pake Kapur dan pengapus (maklum dulu masih menggunakan media pembelajaran berbasis tradisional) sekalipun siswa menerima dan tidak protes segala bentuk hukuman yang diberikan guru kepadanya bahkan orang tuanya sekalipun jika tau kalau anaknya mendapatkan hukuman dari gurumya malah siswa yang bersangkutan dapat hukuman tambahan dari orang tuanya tersebut artinya orang tua ikut mendukung apa yang dilakukan oleh guru tersebut demi kecerdasan anaknya, memang dulu gurunya keras tapi sepengetahuan saya sebagai murid tidak ada guru yang memberikan hukuman kepada siswa itu sampai sakit parah.
Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan ihklas menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya sangat dihormati dan disegani oleh siswa sekaligus orang tuanya karena sebagai panutan bagi mayarakat.
Sedangkan di era digital ini seolah posisi guru tercerabut dari akar profesinya dan diganti oleh peran orangtua dan masyarakat yang merangsek masuk hingga ke urusan belajar-mengajar di sekolah. Akibatnya, dimata siswa guru bukan lagi sosok sentral yang harus di hormati layaknya sebagai orang yang paling berjasa mencerdaskan mereka bahkan guru tidak heran dilawan dan “aniaya” fisik dan profesinya. Disinilah guru kita menjalankan profesi mulianya tidak ayal seperti “babu nya siswa” dan orangtua siswa berlagak seperti bosnya guru.
Kondisi semacam ini tentu terjadi sebagai akibat dari perubahan dan pergeseran nilai yang dibawa oleh semangat globalisasi yang melanda negara Indonesia ini. Pergeseran yang terjadi menimpa hampir seluruh sendi kehidupan.
Globalisasi sebagai saudara kandung modernisasi telah menghasilkan perubahan cara pandang bangsa ini termasuk dalam dunia pendidikan yang diwarnai oleh perubahan peraturan-perundangan mengenai pelarangan dan pembatasan peran dan otoritas guru menjalankan profesinya secara nyaman dan bebas dari belenggu pihak luar dengan alasan HAM dan pola pendidikan demokratis.
Akibat dari adanya HAM dan sistem pendidikan demokratis ini, guru seolah dikurung dalam keterbatasan mendidik warga belajarnya sebagaimana strategi mendidik guru pada masa silam, guru tidak lagi berani memberi hukuman kepada siswanya, guru diwajibkan menghormati siswanya, guru terus dituntut untuk melayani siswa dan orangtuanya layaknya babu. Dampak dari itu semua, tentu akan berpengaruh pada perubahan perilaku dan karakter pelajar dewasa ini seperti murid sekarang yang lebay-alay, atau orang tua siswa yang melambai, guru tegas sedikit dibilang melakukan kekerasan”.
Kini guru seolah-olah sudah tidak “berdaya” lagi dihadapan siswa dan orangtua warga belajarnya karena mereka menganggap bahwa pertama mereka telah dilindungi oleh UU HAM. Kedua mereka menganggap guru sebagai majikan dan pembantu dimana murid dan wali murid bertindak seenaknya. ketiga siswa merasa bahwa guru bukan sebagai penentu dalam kelulusan siswa lagi. Keempat masyarakat dan siswapun menganggap guru memiliki gaji yang besar apalagi dengan adanya tunjangan sertifikasi Pendidik sehingga mereka memiliki asumsi bahwa guru tak perlu di hormati dan dihargai lagi sehingga tak heran kita melihat perilaku siswa dan orang tua siswa berbuat dan bertindak sewenang-wenang sehingga hakekat guru yang di gugu dan ditiru itu telah pudar.
Merujuk pada fenomena tidak sehat yang “menjahati” guru dan profesinya di atas, maka pemerintah dan pemerintah daerah perlu mempertegas fungsi dan otoritas guru di sekolah, dan batasan kewenangan orangtua dan masyarakat agar tidak terjadi over lapping terhadap cara belajar anaknya di sekolah. Karena pada hakekatnya, kawasan tanggunjawab pendiidikan anak itu terdiri dari pendidikan informal (orangtua), pendidikan nonformal (masyarakat), dan pendidikan formal (sekolah) atau yang kita kenal dengan jalur tri pusat pendidikan.
Dengan demikian, regulator diminta untuk segera membuat regulasi yang mempertegas peran-peran ketiga jalur pendidikan ini demi menjaga marwah guru dan profesinya juga untuk menekankan tugas dan tanggunjawab keluarga sebagai orangtua dan sekaligus sebagai masyarakat. Jika tidak, maka kejadian “intervensi” atas profesi guru di sekolah tidak lagi dilakukan oleh orangtua siswa dan masyarakat umum, melainkan juga akan dilakukan oleh organisasi profesi, profesi lain, dan bahkan oleh kepala daerah itu sendiri sehingga guru yang seharusnya menyadang prosfesi mulia nkmencerdaskan kehidupan bangsa justru menjadi “babu bagi orangtua siswa dan warga belajarnya.
Penulis : Ardi, S.Pd.,M.Pd (Guru Pada SMAN 1 Lambitu dan Ketua 2 Serikat Guru Indonesia (SGI) Kabupaten Bima).